Optimalkan Potensi Diri = Tingkatkan Citra Diri Anak Berkebutuhan Khusus
sumber : google |
Citra
diri merupakan gambaran tentang diri sendiri (Cremer dan Siregar, 1993 dalam
Shinta, 2002). Dimana pembentukan citra diri ini bukan sesuatu yang dibawa
sejak lahir, melainkan diperoleh melalui interaksi sosial dengan lingkungannya.
Adanya citra diri ini juga akan menetukan cara seseorang dalam berinteraksi
dengan orang lain, misalnya saja seorang guru. Guru ini tentunya harus
mempunyai image atau citra diri yang baik dimasyarakat, yang mana guru
merupakan sosok yang mempunyai andil dalam mencerdaskan seorang anak baik itu
secara moral maupun intelektual. Untuk
itu biasanya citra diri yang ada pada guru di masyarakat seperti jujur, adil,
disiplin, berwibawa, cerdas, bertanggung jawab, dan lain sebagainya.
Mengingat
citra diri itu melekat disetiap orang baik itu orang normal maupun berkebutuhan
khusus, tentunya juga harus mampu menerima pencitraan atas dirinya entah itu
negatif ataupun posistif. Kenyataan yang ada tidak semua orang mampu dengan
mudah menerima pencitraan diri yang melekat padanya. Belum lagi ditambah dengan
keadaan lingkungan disekitarnya tentu akan semakin mempersulit pencitraan diri
yang ada. Selain faktor lingkungan penyebab lainnya yang juga berpengaruh dalam
penerimaan gambaran diri seseorang yaitu keadaan panca indera, keadaan emosi,
dan kecerdasan (Shinta, 2002).
Misalnya ada seorang anak yang terlahir cacat tanpa tangan dan lingkungannya megolok-olok kekurangannya tersebut, tentu akan sulit baginya menerima gambaran yang telah ada padanya. Meskipun disisi lain anak ini mahir sekali bermain piano dengan menggunakan kakinya.
Misalnya ada seorang anak yang terlahir cacat tanpa tangan dan lingkungannya megolok-olok kekurangannya tersebut, tentu akan sulit baginya menerima gambaran yang telah ada padanya. Meskipun disisi lain anak ini mahir sekali bermain piano dengan menggunakan kakinya.
Penulis
memprediksikan jika lingkungan lebih bisa menerima keadaan anak tadi dan tidak
mengolok-oloknya, suatu saat anak ini bisa menjadi pianis yang
hebat. Akan tetapi tentunya ini juga membutuhkan dukungan dan semangat dari
lingkungan disekelilingnya khususnya dari keluarga. Berbekal kegigihan dan
ketekunan anak yang berkebutuhan khusus ini akan mampu meraih prestasi yang
bagus sehingga nilai citra dirinya di masyarakat menjadi baik. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan sekolah dan
prestasi-prestasi yang membanggakan lainnya, terutama yang berlangsung
bertahun-tahun, menimbulkan penghargaan yang tinggi terhadap diri dan kemampuan
seseorang (Kifer, 1975 dan Kenny, 1977 dalam Mappiare, A, AT, 1992).
Mengingat
pentingnya dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan bagi orang berkebutuhan
khusus agar mempunyai citra diri yang positif, maka pengendalian yang bisa
dilakukan yaitu tidak mengucilkannya dari lingkungan sosial dan tetap
memperlakukannya layaknya orang normal lainnya. Tujuan tidak mengasingkannya
dari lingkungan pergaulan yaitu agar kesehatan mental orang berkebutuhan khusus
ini bisa terjaga, yang mana menurut Barber (1964 dalam Notosoedirjo, M &
Latipun, 2001) makin baik interaksi sosial seseorang makin baik kesehatan
mentalnya, dan sebaliknya makin terpencil interaksi sosialya makin beresiko
mengalami gangguan psikiatris. Imbasnya anak yang cacat tangannya tadi bisa
tetap mengoptimalkan potensinya seperti bermain piano sehingga mempunyai citra
diri yang positif dimasyarakat.
Daftar
Pustaka:
Mappiare,
A, AT. (1992). Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : Rajawali Pers.
Notosoedirjo,
M & Latipun.(2001).Kesehatan Mental, Konsep & Penerapan.Malang : UMM
PRESS
Shinta.
(2002). Pengantar Psikologi Sosial. Edisi ke-2. Yogyakarta : Universitas
Proklamasi 45
Comments
Post a Comment